Selasa, 29 Desember 2009

CDI

saya ingi akselerasi motor smash 2005 saya jadi bertambah lebih spontan dan responsif kira-kira CDI apa yang mesti saya pakai...?
CDI SHOGUN LAWAS atau BRT dan kira kira apa saja yang harus saya ganti selain itu...?
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SAMIN

1.1 Biografi Samin Surosentiko
Nama Samin berasal dari nama salah seorang penduduk yang bernama Samin Surosentiko (=Surontiko). Samin Surosentiko dilahirkan pada tahun 1859 di desa Ploso, Kediren, sebelah utara Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Samin Surosentiko seorang petani lugu yang memiliki tanah sawah seluas tiga bau atau lima are, satu bau lading dan enam ekor sapi. Ia bukan tergolong petani miskin. Sejak kecil ia dijejali oleh pandangan-pandangan figuratif pewayangan yang mengagungkan tapa brata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Rupanya ia terpukul melihat realitas sekeliling, di mana rakyat banyak yang terisap dan terjajah sehingga tidak bisa menggeliat lagi karena menemui kebuntuan dan kebingungan.
Kemudian pada waktu ia berumur 31 tahun, Samin Surosentiko menyebarkan ajarannya. Dari tahun ke tahun pengikut Samin Surosentiko semakin berkembang dan bertambah banyak hingga mencapai 3000 orang. Hal ini dikarenakan bahwa rakyat Desa Tapelan, Ploso dna Tanjungsari mengangkatnya sebagai raja dengan gelar Prabu Panembahan Suryongalam.

1.2 Persebaran Masyarakat Samin
Pada tahun 1917 Asisten Residen Tuban J.E Jasper melaporkan bahwa persebaran masyarakat Samin itu dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Faktor Ekonomi
2. Faktor Ikatan Persaudaraan, dan orang Samin menyebutnya seduluran.
3. Faktor persamaan adat-istiadat atau tatacara, dan aturan-aturan yang wajib mereka laksanakan. Misalnya adat-istiadat atau tatacara perkawinan dan kematian, tidak boleh berdagang karena menurut anggapannya orang berdagang itu akan berbuat goroh (menipu), tidak boleh menerima sumbangan berupa uang sepeser pun apabila sedang mempunyai hajat (adang akeh).

1.3 Ragam Budaya Masyarakat Samin
Dalam persoalan agama, masyarakat Samin menganggap bahwa semua agama itu baik, sehingga mereka tidak membedakan agama yang ada. Dan pandangan ini sebenarnya salah. Selain itu masyarakat Samin meyakini bahwa untuk menebus dosanya selagi di dunia, manusia harus mengalami reinkarnasi alias penitisan beberapa kali. Dan pada saat orang meninggal dunia, jenazahnya tidak dimakamkan di makam umum. Mereka juga meyakini bahwa alam akhir itu tidak ada dan juga tidak mengenal sesajen atau sesembahan lainnya yang ditujukan pada kekuatan-kekuatan gaib.
Dalam hal bahasa, masyarakat Samin menggunakan bahasa Jawa ngoko dalam kehidupan sehari-hari, terutama sesama seduluran.
Dalam bidang ekspresi seni dan kerajinan, jarang dijumpai hasil karya seni orang Samin. Sebab menurut Kartomihardjo (1980) menyatakan bahwa masyarakat Samin adalah masyarakat petani miskin. Kemiskinan itu tidak hanya berupa harta benda, akan tetapi juga kemiskinan berupa budaya: sejarah masyarakatnya, kesenian, kesusastraan, adat istiadat (upacara ritual), dan lain-lain. Namun mereka adalah petani yang ulet, karena pada umumnya mereka bermukim di daerah-daerah pegunungan kapur.
Dalam hal kemajuan pembangunan, masyarakat Samin menolak penggunaan alat-alat modern seperti traktor, buller, dan lain-lain. Karena menurut mereka hal itu akan mempersempit penggunaan tenaga manusia setempat. Sehingga untuk mengatasi hal ini diperlukan pendekatan-pendekatan dialogis dan kekeluargaan yang memberikan wawasan dan memberikan motivasi yang bersangkutan dengan teknik-teknik kepraktisan hidup sehari-hari.

Daftar Pustaka
Anonim, tt, “Serat Pikukuh Kasajaten”, Naskah tulisan tangan berhuruf Jawa

Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta, PN Balai Pustaka

Prasongko, Hidayat, 1981. Kekerabatan dan Perkawinan Masyarakat Samin : Kasus di
Pedukuhan Bapangan (Skripsi), Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra dan Kebudayaan
Universitas Gajah Mada

Widiyanto, Paulus. 1993. “Samin Surosentiko dan Konteksnya”, dalam Prisma, No. 8 Th. 12